InhuaOnline – Setelah Pasukan SDF Kurdi dan koalisi pimpinan AS mengumumkan ISIS telah dikalahkan dari wilayah terakhirnya di Baghouz, Suriah, pada 23 Maret 2019.
Trump kemudian menyerukan kepada Inggris dan sekutu Eropa lainnya, untuk memulangkan dan mengadili warganegaranya yang ikut bergabung dengan ISIS.
Eropa menanggapi dingin permintaan Presiden Amerika Serikat Donald Trump soal menerima kembali warga yang ditangkap di Suriah karena bergabung ISIS.
Negara-negara Eropa yang dipimpin oleh Inggris, Prancis dan Jerman tidak menanggapi permintaan Donald Trump, agar mereka mengambil kembali warganya yang bergabung dengan ISIS.
The United States is asking Britain, France, Germany and other European allies to take back over 800 ISIS fighters that we captured in Syria and put them on trial. The Caliphate is ready to fall. The alternative is not a good one in that we will be forced to release them……..
— Donald J. Trump (@realDonaldTrump) February 17, 2019
Dikutip dari The Telegraph, 19 Februari 2019, Jerman mengatakan sangat sulit untuk memulangkan eks ISIS, sementara Prancis mengatakan dengan terus terang bahwa negaranya tidak akan menanggapi permintaan presiden AS.
Inggris bahkan telah mencabut status kewarganegaraan para warganya yang masih terjebak di Suriah dan Irak karena bergabung dengan ISIS.Eropa menilai setiap orang yang ditangkap dan anggota keluarga mereka harus dituntut di negara tempat kejahatan itu dilakukan. Di London, juru bicara Perdana Menteri Theresa May mengatakan anggota ISIS harus diadili di mana mereka ditangkap,
“Mereka harus dibawa ke pengadilan sesuai dengan proses hukum yang berlaku di yurisdiksi paling tepat.” katanya. “Jika memungkinkan, itu harus di wilayah di mana kejahatan telah dilakukan,” imbuhnya.
Pemulangan WNI ISIS Kembali Panas
Rencana pemulangan WNI ISIS sebelumnya terungkap dari Menteri Agama Fachrul Razi. Dia menyebut BNPT akan memulangkan 600 warga negara Indonesia yang tergabung dalam ISIS dari Timur Tengah.
Belakangan, Fachrul meralat ucapannya dan mengatakan pemerintah masih mengkaji kemungkinan itu, setelah BNPT menegaskan tidak ada rencana pemulangan 600 WNI ISIS.
Segerombolan politisi yang mencari popularitas mulai bermunculan, membela pemulangan WNI ISIS atas nama kemanusiaan, HAM dan kewajiban konstitusional pemerintah untuk melindungi warga negaranya.
Fadli Zon Dukung Pemerintah Pulangkan WNI Eks ISIS https://t.co/3EuMVdRHj4 pic.twitter.com/cv4jfRzBiK
— Harian Inhua Online (@HarianInhua) February 7, 2020
Saya tidak paham bagaimana kerja otak yang bersemayam di kepala para politisi senayan. Jika Fadli Zon berseloroh bahwa kewajiban konstitusional pemerintah untuk melindungi warga negaranya, ada benarnya di satu sisi. Tetapi negara juga punya kewajiban konstitusional untuk menjamin keamanan dan stabilitas, maka apapun yang dapat mengganggu keamanan dan stabilitas harus dihilangkan.
Kewajiban menjamin keamanan dan stabilitas jauh lebih penting dari melindungi segelintir eks WNI yang telah dinyatakan kehilangan kewarganegaraannya berdasarkan Pasal 23 UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, khusunya huruf (d) dan huruf (f).
PKS Minta 660 WNI Eks ISIS Dipulangkan Sama Seperti WNI di Wuhan https://t.co/9yWxveOxlx pic.twitter.com/ZQbVg0L3cP
— Harian Inhua Online (@HarianInhua) February 7, 2020
Sementara, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera ingin pemerintah memulangkan para warga negara Indonesia (WNI) eks ISIS ke Tanah Air.
“Mereka juga mesti diurus negara, karena memang negara mesti hadir,” kata Mardani dalam keterangan persnya, Kamis (6/2/2020).
Pertama, 600 anggota ISIS asal Indonesia telah kehilangan kewarganegaraannya karena telah masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden, dan secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut.
Kedua, Mardani Ali Sera mengatakan bahwa negara harus hadir mengurus eks WNI ISIS. Perlu diketahui sejak awal kemunculan ISIS, negara hadir dengan menutup berbagai saluran untuk mencegah WNI bergabung dengan kelompok-kelompok teroris di Irak dan Suriah.
Sejumlah penangkapan pun dilakukan oleh Polri terhadap para penyandang dana yang memberangkatkan WNI ke Turki untuk bergabung dengan ISIS. Kerjasama kontra terorisme dengan Turki pun ditandatangani untuk memulangkan para WNI yang terdampar di negara itu.
Bahkan pencabutan status WNI bagi yang bergabung dengan ISIS telah dibahas sejak Maret 2015 oleh Menkopolhukam dan Menkumham saat itu.
Sebagian politis senayan meyoroti pemulangan WNI ISIS atas nama kemanusiaan dan HAM. Mengapa orang-orang ini tidak mengecam negara-negara Eropa yang terang-terang menolak atau ogah pulangkan warganegaranya yang bergabung dengan ISIS? Bukankah itu melawan HAM? Bukankah Eropa telah mengabaikan kemanusiaan?Pola pikir para politisi senayan ini sungguh sangat mengenaskan. Berbicara kemanusiaan dan HAM padahal di saat yang sama mereka tidak me-manusia-kan manusia dan mengabaikan HAM. Jangan bicara HAM pada para pelanggar HAM, dan jangan bicara kemanusiaan pada mereka yang tidak punya rasa kemanusiaan.
Mereka yang bergabung dengan organisasi teroris adalah para pelanggar HAM, dengan menduduki sebuah wilayah atau negara yang bukan haknya, membuat kehancuran di sana, menduduki dan menjarah properti, tanah dan harta warga setempat.Mereka bukan manusia, karena dengan bangga melakukan pembantaian warga sipil di Suriah dan Irak. Di mana rasa kemanusiaan mereka di saat puluhan atau bahkan ratusan anak jadi korban bom bunuh diri, di saat wanita diperjualbelikan dan dijadikan budak sosial. Apa itu yang disebut kemanusiaan? Apa pantas kita berbicara kemanusiaan terhadap mereka.
Mereka yang ngotot memperjuangkan pemulangan WNI ISIS patut disebut sebagai bagian dari pejuang ISIS.
Jangan biarkan siapapun dia meskipun politisi atau anggota DPR mengacak-acak prosedur hukum dan melangkahi konstitusi. Apalagi hanya demi pencitraan untuk mengambil simpati masyaraka. Dan hal ini juga menjadi catatan serius pemerintah, agar jangan mudah teperdaya slogan kemanusiaan, HAM dan akal bulus politisi.
(Rully_Yasheen)