Datangkan Guru Besar Islam dari Beijing, Perhimpunan INTI bersama BRIN, dan UNU Yogya Sukses Adakan Seminar Internasional Ungkap Faktor Islam dalam Hubungan Indonesia-Tiongkok
Seminar yang dilaksanakan di Universitas Nahdhatul Ulama (UNU) Yogyakarta pada Rabu (18/9) pagi, secara khusus menghadirkan narasumber Prof. Li Lin yang merupakan seorang Guru Besar Agama Islam di Chinese Academy of Social Sciences, Beijing – Tiongkok.
Selain itu hadir pula narasumber kompeten lainnya yaitu Nostalgiawan Wahyudhi, S.IP., M.A. (peneliti dari Pusat Riset Politik BRIN), Suhadi Cholil, Ph.D (Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, dan Transformasi Sosial dari UNU Yogyakarta), dan Novi Basuki, Ph.D (Santri Alumni Tiongkok dan Dewan Pakar INTI).
Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Muhammad Najib Azca, Ph.D. membuka secara langsung kegiatan seminar ini yang diikuti oleh sekitar 400 peserta.
Dalam sambutannya, Najib menyoroti pentingnya Tiongkok sebagai sumber inspirasi dalam peradaban Islam. “Hadits menyebutkan, ‘Tuntutlah ilmu ke negeri China.’ Ini menandakan bahwa sejak masa Nabi, Tiongkok telah menjadi pusat pengetahuan dan peradaban yang besar,” katanya.
Sementara Sekjen Perhimpunan INTI Candra Jap dalam sambutannya mengungkapkan seminar ini merupakan salah satu upaya Perhimpunan INTI dalam memperkuat pemahaman tentang kontribusi Islam dalam relasi Indonesia-Tiongkok.
“Ketua Umum INTI pak Teddy Sugianto senantiasa berupaya mempererat hubungan Indonesia-Tiongkok, salah satunya dengan pemberian beasiswa kuliah gratis ke Tiongkok sejak 2018 kepada 300 anak muda Indonesia yang bekerjasama dengan Kedubes Tiongkok di Indonesia,” kata Candra.
Dalam sesi utama seminar, Prof. Li Lin memaparkan perjalanan panjang perkembangan Islam di Tiongkok, mulai dari kedatangan utusan Arab pada tahun 651 di masa Dinasti Tang hingga era modern.
“Islam masuk ke Tiongkok sejak masa Dinasti Tang, dan pada masa Dinasti Yuan, banyak masjid dibangun. Sistem pendidikan Islam terus berkembang di masa Dinasti Ming dan Qing, hingga era Republik Rakyat Tiongkok,” jelas Prof Li.
Wakil Rektor UNU Jogja, Suhadi Cholil menambahkan bahwa jejak hubungan Indonesia-Tiongkok dapat dilihat dari artefak budaya dan arsitektur, yang menggambarkan adanya pertukaran budaya dan agama antara kedua bangsa.
“Kita bisa menemukan pengaruh Islam dalam arsitektur di tempat-tempat ibadah Tionghoa, dan ornamen Tiongkok di pusat-pusat budaya Islam di Indonesia. Ini menunjukkan saling hormat dan pengakuan terhadap tradisi yang berbeda,” ujarnya.
Sementara Nostalgiawan Wahyudhi memaparkan penelitiannya tentang etnis Tionghoa di Indonesia yang memiliki banyak tantangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai minoritas.
Sedangkan Novi Basuki menyampaikan hubungan Indonesia-Tiongkok itu kuat di tingkat elit, namun rapuh di tingkat hubungan antar masyarakatnya. Untuk itu diperlukan upaya peningkatan pemahaman untuk Muslim Indonesia terhadap Tiongkok, utamanya yang terkait dengan kebijakan keagamaan, mutlak dilakukan.
Selain itu, acara seminar juga dimeriahkan dengan berbagai penampilan tarian budaya Tionghoa dan barongsai dari JCACC (Jogja Chinese Art and Cultural Center) yang dipimpin oleh Drs. Tandean Harry Setio.
Sekjen INTI Candra Jap hadir didampingi Leon Hanafi (Wakil Ketua Umum INTI bidang Organisasi sekaligus Ketua INTI Jawa Barat), Johnson Williang Sutjipto (Wakil Ketua Umum bidang Pendidikan), Jenny Chandradinata (Sekretaris), Ir. Azmi Abubakar (Dewan Pakar INTI sekaligus pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa), Johny Sia (Sekretaris INTI Sumatera Utara), Yovandra (Ketua Bidang Kerjasama dan Jaringan PEMANTIK / Penerima Beasiswa INTI Ke Tiongkok), dan Antonius Simon (Ketua INTI Daerah Istimewa Yogyakarta) beserta jajaran.
Tampak hadir pula Abdul Ghoffar (Wakil Rektor UNU Yogya), Yudil Chatim (Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Beijing), Udaya Halim (Pendiri Museum Benteng Heritage Tangerang), dan dari Pusat Riset Politik BRIN hadir Tim Kajian Etnik Tionghoa yaitu Lidya Christin Sinaga (Peneliti Madya) dan Hayati Nufus (Peneliti Muda).