Jakarta – Menteri Transmigrasi Republik Indonesia (RI) Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara dalam wawancara eksklusif dengan reporter Xinhua baru-baru ini menyampaikan bahwa pengalaman berharga China dalam memanfaatkan transmigrasi untuk menangani kemiskinan patut diteladani oleh Indonesia. Indonesia berharap dapat memperkuat kerja sama dengan China untuk mewujudkan pembangunan bersama demi kemakmuran rakyat kedua bangsa.

Pada Oktober 2025, dalam kunjungan kerja ke China, Iftitah menyaksikan bagaimana program transmigrasi di negara tersebut bertransformasi dari sekadar perpindahan penduduk menjadi bagian dari program besar pengentasan kemiskinan. Kunjungan itu juga membangkitkan semangatnya untuk menepis anggapan umum soal kemiskinan.

“Saya dichallenge oleh banyak orang, banyak pihak, kalau kemiskinan di Indonesia banyak itu wajar. Penduduknya besar, 285 juta. Di China, 1,4 miliar penduduk dan hampir zero kemiskinan absolutnya. Ada alasan apa lagi untuk bangsa Indonesia tidak bisa keluar dari kemiskinan? Itulah juga yang saya lihat semangatnya dari Bapak Presiden RI Prabowo Subianto, ingin Indonesia keluar dari kemiskinan ini. Tentu saja kalau saya melihat, kita harus membuka lebih banyak lapangan kerja,” ungkapnya berapi-api.

Transformasi transmigrasi dalam pengentasan kemiskinan

Dalam percakapan hangat di halaman rumah dinasnya, Iftitah sangat mengapresiasi bagaimana relokasi penduduk justru menjadi motor pengentasan kemiskinan ketika disinergikan dengan program lain. Dia menyimpulkan “kunci kesuksesan” China tersebut terletak pada perhatian terhadap pendidikan, penyesuaian dengan kondisi lokal, kepemimpinan yang kuat, serta semangat untuk terus berjuang. Dia juga sangat terkesan saat mengunjungi Desa Xujiachong dan Desa Guanzhuang di Yichang, Provinsi Hubei.

Kedua desa itu terbentuk setelah transmigrasi lebih dari 1.3 juta penduduk untuk pembangunan Bendungan Tiga Ngarai, bendungan terbesar di seluruh dunia. Bendungan raksasa tersebut telah menghasilkan 100 miliar kWh listrik lebih per tahun dan berkontribusi terhadap ketahanan energi nasional. Selain itu, para penduduk yang bertransmigrasi juga mengalami peningkatan pendapatan.

“Mereka (para transmigran) mendapatkan bantuan-bantuan sesuai dengan potensi lokal. Yang saya lihat, misalkan, ada di sana itu komoditas jeruk. Ternyata setelah ada insentif dari pemerintah, produktivitas jeruk meningkat berkali-kali lipat. Bahkan dalam catatan saya, pendapatan petani jeruk di daerah Yichang itu hampir 3 kali lipat dari rata-rata nasionalnya,” tutur Iftitah.

Melalui upaya mandiri selama puluhan tahun yang didukung oleh bantuan pemerintah setempat dan berbagai kalangan masyarakat, kedua desa tersebut berhasil mengembangkan potensi lokal mereka. Pemerintah China memberikan dukungan komprehensif melalui program pelatihan, transfer teknologi, dan kolaborasi antara transmigran dan warga lokal.

Selain durian, Iftitah juga menyebutkan peluang besar kawasan transmigrasi untuk memasok buah kelapa ke pasar China. Pada 2023 saja, China menyerap lebih dari empat miliar butir kelapa, sementara produksi domestik hanya berasal dari Provinsi Hainan. “Jadi, (ada) defisit tiga miliar butir (kelapa). Sangat besar sekali, 75 persen. Tanamlah kelapa di Indonesia,” ajaknya.

Sementara itu di Desa Xujiachong, pendampingan pemerintah China meningkatkan pendapatan masyarakat hingga delapan kali lipat dibandingkan masa awal mereka menetap. Aktivitas ekonomi di Xujiachong tidak hanya berfokus pada sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan, tetapi juga telah merambah ke bidang industrialisasi rumah tangga.

Iftitah juga melihat adanya kemiripan strategi dalam pembangunan kawasan transmigrasi di kedua negara. Keduanya menekankan pentingnya pembangunan infrastruktur untuk pengentasan kemiskinan. Di China dikenal ungkapan yang berbunyi “untuk menjadi makmur, bangunlah jalan terlebih dahulu”, dan dia mengatakan harus memusatkan sumber daya pada pengembangan infrastruktur di beberapa daerah percontohan, dan kemudian mendorong pembangunan di daerah sekitarnya..

Hal serupa diterapkan Indonesia di kawasan transmigrasi Halmahera Utara. “Semula untuk membawa kelapa dari satu titik ke pelabuhan butuh 8 jam. Sekarang dengan jalan yang lebih bagus, hanya 1 sampai 2 jam,” paparnya. Infrastruktur terbukti meningkatkan produktivitas dengan menekan biaya.

Selain infrastruktur, Iftitah menyoroti peran pendidikan dalam pengentasan kemiskinan. “Di China, pendidikan itu juga tidak hanya pendidikan yang bersifat pengetahuan, tapi juga keterampilan dan bahkan karakter, ” terangnya.

Pengalaman itu menginspirasinya untuk semakin menekankan pendidikan yang menyeluruh, dan mengajak dunia akademisi baik dalam negeri maupun luar negeri tercantum dalam pengembangan kawasan transmigrasi di Indonesia. Dia mengatakan akan mengerahkan dua ribu akademisi dari beberapa universitas teratas di Indonesia ke kawasan-kawasan tersebut untuk mempelajari potensi ekonominya.

“Kami nanti akan membuka kampus-kampus patriot. Di beberapa lokasi, di bagian barat itu ada Rempang, ada satu di Sulawesi, ada satu lagi di Merauke, di bagian Timur. Itu adalah distribusi SDM-SDM, sumber daya manusia unggul. Jadi, mereka adalah para pemilik beasiswa S2, terdaftar di tujuh universitas top di Indonesia, tapi mereka kuliahnya tidak di kampus utama, tidak di Jawa. Mereka kuliahnya di kawasan-kawasan transmigrasi. Supaya setiap hari mereka bisa melihat langsung kondisi masyarakat, dan selalu berpikir bagaimana solusi yang terbaik. Karena bagi saya pribadi, solusi itu bukan dalam bentuk saran atau rekomendasi, solusi itu ada dalam bentuk tindakan.” tegas Iftitah.

Dari transformasi transmigrasi Indonesia untuk Dunia

Dalam kesempatan kunjungan ke China tersebut, Iftitah memberikan kuliah umum di Central China Normal University (CCNU) di Wuhan, China. Kuliah umum itu bertujuan mengajak mahasiswa dan akademisi China berkolaborasi membangun kawasan transmigrasi Papua. Pulau itu mewakili tantangan sekaligus peluang. Untuk itu, Iftitah mengajak China untuk bersama-sama membangun Bumi Cendrawasih, mulai dari sektor pendidikan, kesehatan, hingga industri.

Dalam kesempatan itu, dia mengenang sebuah pertanyaan menarik dari seorang mahasiswi doktoral. “Dia menanyakan kepada saya, ‘Mr. Minister, His Excellency, apa pentingnya transmigrasi di Indonesia buat kami di China?’ ” tutur Iftitah.

Purnawirawan tentara itu menjawab dengan contoh durian. Dia menanyakan apakah penanya itu menyukai durian. Seperti banyak warga China, penanya itu menjawab ya, suka sekali. “Saya sampaikan, datanglah ke Sulawesi. Hampir semua tanah di Sulawesi bisa ditanami durian. Bawalah uang dan teknologi, bekerja samalah dengan masyarakat Indonesia untuk menanam durian terenak di dunia. dan We enjoy together,” ujarnya.

China menyerap lebih dari 85 persen pasokan durian global pada 2024, dengan total 1,56 juta ton dan nilai hampir Rp117 triliun atau sekitar 7 miliar dolar AS. Namun, durian hampir tidak dapat tumbuh di China. Tanaman itu berasal dari Sumatra dan Kalimantan, serta membutuhkan suhu panas dan kondisi lembap yang tersedia di Asia Tenggara.

Selain durian, Iftitah juga menyebutkan peluang besar kawasan transmigrasi untuk memasok buah kelapa ke pasar China. Pada 2023 saja, China menyerap lebih dari empat miliar butir kelapa, sementara produksi domestik hanya berasal dari Provinsi Hainan.

“Jadi, (ada) defisit tiga miliar butir (kelapa). Sangat besar sekali, 75 persen. Tanamlah kelapa di Indonesia,” ajaknya.

Menyambut kerjasama, merobohkan tembok

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ekspor kelapa Indonesia terus meningkat, tetapi masih jauh dari memenuhi kebutuhan pasar China. Pada Januari-Mei 2025, Indonesia mengekspor 204 ribu ton, naik 47 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Dari dua komoditas tersebut, Iftitah menjelaskan bahwa kawasan transmigrasi Indonesia memiliki potensi besar yang belum tergarap. Ada setidaknya 154 kawasan transmigrasi dengan 140 komoditas unggulan dan 212 wilayah tujuan wisata. Kawasan tersebut membutuhkan modal, teknologi, dan keunggulan dari China untuk mengembangkan berbagai potensi lokal.

Kunjungan ke Laboratorium Padi Hybrid di Wuhan juga membuka mata tentang besarnya potensi dari peningkatan produktivitas pertanian di Indonesia. Iftitah menyatakan telah mengundang investor dan ahli dari China untuk bekerja sama.

“Saya secara langsung sudah mengundang para ahli dan investor dari China. Memang tingkat produktivitasnya tinggi, sampai 11-13 Ton per hektare, dan mereka sudah menanam padi hybridnya di Filipina, dan hasilnya bisa sampai 17 ton per hektare” ujarnya.

Menurut Iftitah, kekuatan transmigrasi terletak pada lahan dan tenaga kerja, sementara kelemahannya adalah teknologi, modal, dan off-taker. Kerja sama dengan China diharapkan bisa menutupi kekurangan ini.

Untuk memudahkan investasi, Kementerian Transmigrasi Republik Indonesia berencana membentuk Project Facilitation Office, unit khusus yang mengawal dan memfasilitasi investor dari mulai perizinan awal hingga operasional. “Kami sebagai jembatannya. Kalau butuh izin lahan, kita antar ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). (Jika membutuhkan) izin investasi (kami antar) ke Kementerian Investasi. Izin pertanian atau pertambangan, kami antar ke kementerian terkait,” jelasnya.

Syarat utama bagi investor asing, termasuk dari China, adalah komitmen menyerap 80 persen tenaga kerja lokal. “Karena kalau tenaga kerja dari lokal, mereka menjadi pagar hidup dari industri itu. Mereka sadar, kalau industrinya mati, mereka mau kerja apa?” tegasnya.

Menyambut kerjasama, merobohkan tembok ego sektora

Untuk memajukan transmigrasi, Iftitah menegaskan bahwa kerja satu kementerian tidak cukup. Sejak awal, transmigrasi membutuhkan kolaborasi lintas kementerian. “Sejak pemerintahan Presiden Soekarno, transmigrasi tidak bisa berdiri sendiri. Dulu ada Dewan Pertimbangan Transmigrasi yang diketuai menteri transmigrasi dan dianggotai menteri lainnya,” jelasnya.

Salah satu prioritas Kementerian Transmigrasi RI saat ini adalah meningkatkan sinergi antarkementerian. Dia menyampaikan apresiasi kepada Presiden Prabowo yang sejak awal telah menginstruksikan untuk merubuhkan tembok ego sektoral.

“Beliau paham betul bahwa yang paling berbahaya adalah tembok ego sektoral. Padahal semuanya harus komprehensif, kolaboratif, dan sinergis. Kementerian transmigrasi tidak bisa berdiri sendiri,” tegas Iftitah.

Dia menekankan bahwa transmigrasi bukan sekadar memindahkan penduduk. Tanpa dukungan pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan infrastruktur yang memadai di lokasi baru, tujuan pemerataan penduduk tidak akan tercapai.

Sinergi tersebut sudah terlihat nyata pada pembangunan Satuan Permukiman Transmigrasi (SPT) di Tanjung Banon. Dari 504 rumah yang dibangun, hanya 200 dari anggaran Kementerian Transmigrasi. Sebanyak 304 rumah lainnya disediakan oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam. Pembangunan dermaga, cold storage, stasiun pengisian bahan bakar, dan tempat pelelangan ikan ditangani oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Land clearing menjadi tugas Kementerian Pekerjaan Umum (PU), sedangkan penyediaan dan sertifikasi lahan ditangani oleh Kementerian ATR.

Asta Cita dan pembangunan transmigrasi

Pemerintahan Presiden Prabowo memberi perhatian besar pada kesejahteraan masyarakat di pedesaan, termasuk di kawasan transmigrasi. Program prioritas seperti Koperasi Desa Merah Putih dan Makan Bergizi Gratis menyasar penguatan ekonomi pedesaan.

Iftitah menjelaskan bahwa pelajaran pengentasan kemiskinan di wilayah transmigrasi sangat penting untuk mendukung program prioritas Presiden Prabowo. Pembangunan dari desa untuk pemberantasan kemiskinan merupakan satu dari delapan program utama Presiden Prabowo, yang dikenal sebagai Asta Cita.

Iftitah menekankan komitmen Presiden Prabowo terhadap transmigrasi yang tecermin dari peningkatan anggaran yang signifikan.

Kini, transmigrasi dipandang tidak hanya sebagai program fisik, tetapi juga filosofi pembangunan. “Trans- itu (berarti) melintasi, melampaui, to be better. Migrasi adalah perpindahan penduduk. Tetapi perpindahan tidak harus secara fisik. Kita lihat kesejahteraannya, pendidikannya, kesehatannya. Itulah cerminan kehidupan yang lebih baik,” jelas Iftitah. (Ant/Xinhua)