Jakarta – Kepala Bidang Penyelenggaraan Peribadatan Masjid Istiqlal Jakarta, KH. Bukhori Sail At-Tahiri, mengingatkan masyarakat supaya mewaspadai fanatisme agama yang kerap disusupi kepentingan politik dan adu domba.
Bukhori menyoroti Reuni 212 sebagai contoh fenomena yang sempat ramai diperbincangkan di penghujung 2025.
“Pasalnya, walaupun seringkali diserukan dengan jargon gerakan damai, namun nyatanya ditemukan narasi dan propaganda intoleran di beberapa perayaan reuni sebelumnya. Ini terjadi karena masih banyak kalangan dari umat Islam yang belum memahami hakikat Islam sebagai agama yang moderat dan menjadi rahmat bagi seluruh alam,” katanya.
Ia juga menekankan soal penggunaan bendera yang diklaim sebagai simbol Islam dalam beberapa gerakan, termasuk penggantian bendera Merah Putih dengan panji hitam bertuliskan La Ilaha Illallah.
“Panji yang disebut sebagai bendera Islam atau panji Rasulullah, yang berwarna hitam dan bertuliskan La Ilaha Illallah berwarna putih bukanlah bendera Islam. Itu adalah panji atau bendera yang khusus digunakan ketika peperangan di masa Rasulullah dan para khalifah. Tentu terlihat sangat dipaksakan penggunaannya jika dikibarkan di Indonesia yang saat ini dalam kondisi damai,” ujarnya.
Bukhori menekankan bahwa bendera negara punya filosofi masing-masing, dan Merah Putih sudah menjadi simbol kebangsaan yang kuat sejak kemerdekaan.
Selain itu, ia menyoroti sikap berlebihan dalam beragama yang bisa dimanfaatkan pihak tertentu untuk kepentingan politik.
“Misalnya saja, kadang ada keinginan untuk berbuat yang terbaik, lalu ia melebih-lebihkan upayanya di luar yang semestinya. Itu kan seperti orang memasak hidangan atau makanan, namun karena dia ingin enak, dikasih garam sebanyak-banyaknya atau diberi bumbu yang tidak sesuai dengan porsinya. Tidak bisa seperti itu. Dalam beragama juga demikian, sikap berlebihan yang salah tempat justru akan merusak praktik beragama seseorang,” ungkapnya.
Ia menekankan bahwa Islam mengajarkan kesejahteraan dan kedamaian, sehingga ajaran yang memicu huru-hara jelas keliru.
“Kemanusiaan dan realitas sosial itu sangat dijunjung tinggi dalam Islam. Tujuan kita beragama Islam itu salah satunya supaya kita bisa hidup damai dan sejahtera. Kalau kemudian kita menerapkan ajaran Islam, kok yang terjadi adalah huru-hara dan semacamnya yang akhirnya malah saling serang hanya karena perbedaan yang remeh, itu adalah pemahaman dan pengamalan beragama yang keliru,” katanya.