Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyimpulkan bahwa pengembangan 12 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang dibangun sejak 2014 masih jauh dari harapan. Pemerintah didorong untuk belajar dari Cina dan India dalam mengembangkan kawasan serupa.
Seperti diketahui, KEK terbagi menjadi sektor industri dan sektor pariwisata. Sektor industri berada di wilayah Sei Mankei, Galang Batang, Tanjung Api-api, MBTK, Palu, Bitung, Sorong, Morotai, dan Arun. Sedangkan sektor pariwisata SEZ meliputi Sei Mankei, Mandalika, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Arun, dan Morotai.
Peneliti di Pusat Penelitian Ekonomi di LIPI Maxensius Tri Sambodo mengatakan kesimpulan itu tercermin dalam hasil penelitian yang terkait dengan pengembangan dua KEK awal pemerintah.
Pertama, KEK Mandalika di Nusa Tenggara Barat (NTB) diresmikan pada tahun 2017 pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi), meskipun groundbreaking telah sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kedua, KEK Tanjung Kelayang di Bangka Belitung yang sudah dibangun sejak 2016.
“Dari dua KEK yang kami kunjungi, ini belum banyak kemajuan (pembangunan). KEK lain saya pikir juga tidak jauh berbeda. Terakhir kami pergi ke Tanjung Lesung KEK, ketika ada ‘bagaimana KEK itu?’ Kata Max di kantornya, Selasa (28/8).
Menurutnya, masalah mendasar yang membuat 12 KEK ini masih jauh dari harapan adalah karena pemerintah salah dalam strateginya, yaitu tidak fokus membangun zona ekonomi sampai matang. Bahkan, pembangunan KEK harus fokus pada satu lokasi terlebih dahulu hingga berhasil, kemudian tambahkan KEK di lokasi lain.
“Masalahnya adalah model yang ada belum dikembangkan, tetapi sudah ‘jor-joran’ untuk membuat SEZ lain. Ini perlu dipertimbangkan oleh Badan Pengawas SEZ,” katanya.
Dia menjelaskan bahwa strategi untuk membangun KEK dengan konsep ini penting agar pembangunan KEK benar-benar mencapai titik keberhasilan dan dapat menjadi contoh untuk pengembangan KEK lainnya. Dengan cara itu, pemerintah tidak salah dalam mengembangkan SEZ.
“Jika tidak seperti itu, rasa takut akan menjadi bumerang bagi pemerintah dan menambah daftar panjang kegagalan pembangunan. Kami tidak ingin ini, seperti di Nigeria dan Afrika Selatan, yang banyak gagal,” tambahnya.
Selain itu, ia menganggap bahwa ada beberapa faktor yang membuat pembangunan KEK stagnan, yaitu tidak adanya visi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah ketika membangun KEK di suatu lokasi. Pemerintah memang membagi wilayah KEK berdasarkan sektornya, tetapi tidak cukup spesifik.
Belajar dari China
Dia memberi contoh bahwa pemerintah bisa belajar dari pengembangan kawasan khusus di China. Negeri Tirai Bambu membangun daerah dengan visi besar, yaitu modernisasi.
“Jadi mereka punya misi bahwa lokasi ini harus modern. Kalau modern, itu bisa menambah nilai pada semua aspek,” katanya.
Pemerintah juga bisa belajar dari India. Di India, katanya, zona wisata khusus dibangun. Namun, zona mendapat tentangan dari masyarakat sekitar karena zona itu hanya untuk wisatawan kelas atas. Untuk alasan ini, standar khusus untuk pengembangan KEK yang mencakup semua segmen masyarakat diperlukan.
“Karena SEZ pariwisata sangat bersinggungan dengan masalah sosial-budaya. Jika masalah ini ramai, itu bisa mempengaruhi masyarakat,” katanya.
Selanjutnya, ia menggarisbawahi beberapa kendala dilihat dari hasil studi LIPI di KEK Mandalika dan Tanjung Kelayang. Misalnya, pembangunan KEK hanya ditetapkan pada pemerintah pusat. Meskipun seharusnya, pembangunan KEK juga melibatkan peran aktif dari pemerintah daerah (pemda), instansi terkait, bisnis, hingga masyarakat.
“KEK gagal karena infrastruktur tidak optimal, koordinasi tidak solid, dan ketidakmampuan untuk membuat koneksi dengan industri lokal,” jelasnya.
Akibatnya, pemerintah tidak perlu menambah lagi lokasi baru untuk dibangun KEK saat ini. Namun, fokus pada memaksimalkan KEK yang ada terlebih dahulu. Kemudian, pemerintah juga harus meninjau cetak biru pengembangan KEK, termasuk hubungannya dengan KEK lain. Tak ketinggalan, infrastruktur yang memadai sangat dibutuhkan.