Jakarta – Upaya memperkuat kemandirian pertahanan nasional menuntut sinergi nyata antara kebijakan pemerintah, kolaborasi industri, dan peran aktif akademisi dalam riset serta inovasi teknologi.
Hal itu menjadi pokok pembahasan dalam seminar bertema “Membangun Kemandirian Pertahanan Negara melalui Kebijakan, Interdependensi Industri Pertahanan, dan Peningkatan Peran Akademisi” di Universitas Pertahanan Republik Indonesia (Unhan RI) Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis.
Dalam forum tersebut, Pendiri Republikorp Norman Joesoef yang hadir sebagai pembicara kunci sebagaimana keterangan diterima di Jakarta menyatakan kemandirian pertahanan tidak hanya diukur dari kemampuan produksi alutsista, tetapi dari sejauh mana sebuah bangsa mampu menguasai teknologi, data, dan algoritma yang menjadi fondasi pertahanan masa depan.
Republikorp sendiri merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pertahanan dan teknologi strategis.
Menurut Norman, dunia yang kini bergerak dalam situasi volatility, uncertainty, complexity, and ambiguity (VUCA) menuntut kesiapan pertahanan yang adaptif, inovatif, dan berakar pada keunggulan pengetahuan.
Ia mengatakan kebijakan Perisai Trisula Nusantara yang digagas pemerintah menjadi salah satu arah strategis menuju hal itu, dengan tiga fokus utama, yaitu modernisasi alutsista, interoperabilitas TNI, dan pembangunan industri pertahanan berkelanjutan.
Dengan potensi pertumbuhan industri pertahanan nasional yang terus meningkat, lanjut dia, peluang penguatan kapasitas nasional semakin terbuka lebar. Namun, kemandirian tidak lahir dari ketersediaan sumber daya semata, melainkan dari perubahan pola pikir menuju kepercayaan pada kemampuan bangsa sendiri.
Menurutnya, tantangan pertahanan masa kini tidak lagi datang hanya dari kekuatan militer, tetapi juga dari ketahanan energi, stabilitas rantai pasok, serta arus narasi publik yang dapat mempengaruhi persepsi dan stabilitas nasional. Oleh karena itu, pembangunan pertahanan harus dipandang sebagai ekosistem yang terintegrasi antara aspek teknologi, ekonomi, sosial, dan komunikasi strategis.
Selai itu, sebut Norman, transformasi dari minimum essential force menuju optimum essential force hanya mungkin tercapai jika Indonesia mandiri dalam inovasi dan bukan sekadar produksi.
Untuk itu, kemandirian inovasi menuntut keberanian bereksperimen, keberlanjutan riset, dan kemampuan memanfaatkan sumber daya nasional untuk menciptakan solusi yang relevan dengan kebutuhan pertahanan modern.
Ia menjelaskan untuk mencapai kemandirian pertahanan, ekosistem inovasi yang mempertemukan pemerintah, akademisi, dan industri perlu dibangun melalui kolaborasi lintas sektor sebagai mesin utama (engine of innovation) dalam mempercepat riset dan rekayasa sistem pertahanan nasional.
Dengan begitu, Indonesia diharapkan mampu memperkuat kemandirian industri pertahanan secara bertahap, mulai dari konsolidasi ekosistem pada 2025-2029, produksi mandiri sistem strategis pada 2030-2039 hingga menjadikan Indonesia sebagai Regional Defense Hub di Asia Pasifik pada 2040-2045.
Selain aspek teknologi, karakter pertahanan masa depan akan bergeser dari perang konvensional menjadi perang secara hibrida (hybrid warfare). Kemenangan suatu negara akan sangat ditentukan oleh kemampuannya memproses data, mengambil keputusan cepat, dan mengeksekusi strategi berbasis kecerdasan buatan.
Dalam paparannya, Norman juga menekankan bahwa keberhasilan pertahanan bergantung pada kualitas sumber daya manusia di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM).
Data global menunjukkan lebih dari 80 persen tenaga kerja industri pertahanan dunia berasal dari latar belakang STEM, dan kekurangan talenta di bidang ini menjadi tantangan serius bagi pertumbuhan sektor pertahanan global.
Mendorong penguatan kurikulum adaptif, riset bersama serta program pelatihan lintas sektor untuk membangun talenta nasional yang unggul bisa menjadi fondasi penguatan sumber daya manusia yang menggerakkan inovasi menuju superioritas teknologi demi keberhasilan misi militer dan keamanan nasional.
Ia pun menekankan kemandirian pertahanan tidak dibangun oleh mesin atau algoritma, melainkan oleh kepercayaan antar manusia yang bekerja di dalamnya, yakni pemerintah, industri, akademisi, dan militer.
Nilai-nilai seperti kolaborasi lintas sektor, empati terhadap kebutuhan nyata prajurit, ketangguhan menghadapi dinamika global, serta integritas dalam tata kelola menjadi fondasi utama dalam membangun sistem pertahanan yang kuat dan berkelanjutan.
Selain itu, ucap Norman, inovasi teknologi hanya akan bermakna bila dijalankan dengan nilai-nilai tersebut, karena pada akhirnya pertahanan bukan semata proyek teknologi, tetapi proyek kebangsaan yang menyatukan ilmu, kebijakan, dan moral bangsa.
 
  
 