Beijing – Pemerintah China menjawab tuduhan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Pete Hegseth yang menyebut China bersiap untuk mengubah “status quo” di kawasan Indo-Pasifik sehingga AS dan sekutu-sekutunya harus bersiap menghadapi ancaman Tiongkok.

“Hegseth sengaja mengabaikan seruan untuk perdamaian dan pembangunan oleh negara-negara di kawasan tersebut, dan sebaliknya menggembar-gemborkan mentalitas Perang Dingin untuk konfrontasi blok, menjelekkan China dengan tuduhan yang mencemarkan nama baik, dan secara keliru menyebut China sebagai ‘ancaman’,” demikian disebutkan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri dalam laman Kementerian Luar Negeri yang diakses ANTARA di Beijing pada Minggu.

Dalam pidatonya dalam sesi pleno “Shangri-La Dialogue” di Singapura pada Sabtu (31/5), Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth menyebut nama “China” setidaknya hingga 23 kali untuk berbagai topik dalam pidatonya berjudul “Ambisi Baru Amerika Serikat untuk Keamanan Indo-Pasifik”. Dalam pidatonya Hegseth menyebut berbagai peran China di belahan Bumi Barat (Western Hemisphere) dan terutama Indo-Pasifik khususnya di Laut China Selatan dan Taiwan.

“Pernyataan tersebut penuh dengan provokasi dan dimaksudkan untuk menabur perpecahan. China menyesalkan dan menentang keras tindakan tersebut dan telah mengajukan protes keras kepada AS,” demikian disebutkan dalam pernyataan itu.

Juru Bicara Kemenlu China mengatakan tidak ada negara di dunia yang dapat disebut sebagai kekuatan hegemonik selain AS sendiri, yang juga merupakan faktor utama yang merusak perdamaian dan stabilitas di Asia-Pasifik.

“Untuk melanggengkan hegemoninya dan memajukan apa yang disebut ‘strategi Indo-Pasifik’, AS telah mengerahkan persenjataan ofensif di Laut China Selatan dan terus mengobarkan api serta menciptakan ketegangan di Asia-Pasifik, yang mengubah kawasan tersebut menjadi bom waktu dan membuat negara-negara di kawasan tersebut sangat khawatir,” kata dia.

Persoalan Taiwan, ungkap juru bicara, sepenuhnya merupakan urusan internal China sehingga tidak ada negara yang bisa ikut campur.

Sementara di Laut China Selatan, China menyebut tidak pernah ada masalah terkait kebebasan navigasi dan penerbangan karena China berkomitmen untuk bekerja sama dengan negara-negara terkait guna menangani perbedaan dengan baik melalui dialog dan konsultasi, sambil menjaga kedaulatan teritorial dan hak serta kepentingan maritim China sesuai dengan hukum dan peraturan.

Sebelumnya dalam pidatonya, Menhan Hegseth mengatakan AS meningkatkan keamanan di “Western Hemisphere” (Belahan Bumi Barat) dan merebut kembali Terusan Panama dari pengaruh jahat China.

“Kami tidak akan menghasut atau berusaha menaklukkan atau mempermalukan. Presiden Trump dan rakyat Amerika sangat menghormati rakyat China dan peradaban mereka, tapi tidak akan diusir dari wilayah penting ini dan kami tidak akan membiarkan sekutu dan mitra kami tunduk dan terintimidasi,” ungkap Hegseth.

China, menurut Hegseth, berupaya menjadi kekuatan hegemon di Asia. China disebut berharap untuk mendominasi dan mengendalikan terlalu banyak bagian di kawasan.

“Melalui pembangunan militernya yang besar dan keinginan yang semakin besar untuk menggunakan kekuatan militer untuk mencapai tujuannya, termasuk taktik zona abu-abu dan perang hibrid, China telah menunjukkan bahwa mereka ingin mengubah ‘status quo’ kawasan secara mendasar,” jelas Hegseth.

AS, kata Hegseth, tidak bisa mengabaikannya, tindakan China terhadap negara-negara tetangga dan dunia menurut Hegseth sebagai panggilan untuk bangkit.

Sementara di Laut China Selatan, Hegseth menyebut China mengganggu tetangganya dengan tindakan intimidatif seperti menembakkan meriam air, tabrakan antarkapal, dan penyerbuan ilegal di laut serta melakukan perebutan dan militerisasi ilegal wilayah di Laut China Selatan.

Selanjutnya terkait Taiwan, Hegseth mengatakan militer China setiap hari mengganggu Taiwan ditambah dengan pembangunan kapasitas militer China yang pesat, termasuk investasi besar dalam senjata nuklir, hipersonik, dan kemampuan serangan amfibi.

Hegseth menyebut banyak negara tergoda untuk bekerja sama di bidang ekonomi dengan China dan kerja sama pertahanan dengan AS, tapi ia memperingatkan agar negara-negara waspada terhadap pengaruh Partai Komunis China karena ketergantungan ekonomi pada China hanya akan memperdalam pengaruh jahat China dan mempersulit ruang keputusan pertahanan.

Prinsip “America First”, ungkap Hegseth, tidak berarti Amerika sendirian tapi bersama dengan sekutu andalan seperti Polandia, Israel, dan negara-negara Teluk hingga negara-negara Baltik.

Asia Security Summit atau Shangri-La Dialogue (SLD) adalah Konferensi Keamanan antar-pemerintah di kawasan Asia Pasifik yang diselenggarakan setiap tahun di Singapura oleh International Institute for Strategic Studies (IISS). Dialog ini dihadiri oleh Menteri Pertahanan, Kepala Kementerian, dan Panglima Militer dari sebagian besar negara-negara di kawasan Asia-Pasifik.

Nama forum ini diambil dari Hotel Shangri-La di Singapura, tempat diadakannya acara ini sejak tahun 2002.

Pada tahun ini, hadir dalam pertemuan tersebut antara lain Presiden Prancil Emmanuel Macron, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth, Presiden Timor Leste Jose Ramos-Horta, Menteri Pertahanan Vietnam Jenderal Phan Van Giang, Menteri Pertahanan Jepang Jenderal Nakatani, Menteri Pertahanan Australia Richar Marles, Menteri Pertahanan Belanda Ruben Brekelmans, Menteri Pertahanan Selandia Baru Judith Collins, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto dan pejabat lainnya.

Sementara delegasi China dipimpin Wakil Presiden Universitas Pertahanan Nasional Tentara Pembebasan Rakyat, Laksamana Muda Hu Gangfeng.