Jakarta – Bank Indonesia (BI) menyampaikan komitmennya untuk tetap menjaga stabilitas rupiah di tengah ketidakpastian perekonomian global akibat dinamika negosiasi tarif resiprokal AS dan ketegangan geopolitik di Timur Tengah (Timteng).
“Komitmen Bank Indonesia akan terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, baik volatilitasnya dari hari ke hari, minggu ke minggu, maupun kesesuaiannya dengan fundamental,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Bulan Juni 2025 di Jakarta, Rabu.
Selain menjalankan strategi triple intervention pada transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan SBN di pasar sekunder, BI terus memperkuat respons kebijakan stabilisasi melalui intervensi terukur di pasar off-shore Non-Deliverable Forward (NDF), baik di pasar Hong Kong, Asia, Eropa maupun Amerika.
Hal tersebut, jelas Perry, sebagaimana yang pernah dilakukan BI saat menghadapi gejolak global yang sempat meningkat pada periode libur Lebaran yang lalu. Respons kebijakan ini membuahkan hasil positif di mana saat itu nilai tukar rupiah kembali menguat pascalibur Lebaran.
“Alhamdulillah, nilai tukar sekarang berada di kisaran Rp16.200-16.300 (per dolar AS),” kata Perry.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti mencatat bahwa nilai tukar rupiah yang menguat secara kuartalan dibandingkan dengan kuartal yang lalu juga didorong oleh peningkatan pasokan valuta asing (valas).
Berdasarkan data BI, aliran masuk modal asing ke Surat Berharga Negara (SBN) pada triwulan II 2025 (hingga 16 Juni 2025) mencatat net inflows sebesar 1,7 miliar dolar Amerika Serikat (AS).
Meskipun di pasar saham dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) masih mencatatkan outflow, Destry mengatakan bahwa outflow masih relatif kecil.
“Ini yang cukup menambah supply valas di pasar. Dan ini juga tecermin dengan transaksi harian di pasar valas kita yang terus mengalami peningkatan, di mana pada April 2025 itu rata-rata harian di bawah 6 miliar dolar AS yaitu sekitar 5,76 miliar dolar AS, tapi di 16 Juni 2025, sudah di atas 6 miliar dolar AS yaitu sekitar 6,22 miliar dolar AS,” jelas Destry.
Deputi Gubernur BI Aida S. Budiman menambahkan bahwa ketidakpastian perekonomian global, baik terkait dengan tarif resiprokal AS maupun ketegangan di Timur Tengah, terus dicermati oleh bank sentral Indonesia.
Untuk kebijakan tarif AS, isu terbaru yang menjadi perhatian yaitu terkait dengan tarif baja dan aluminium. Namun, terdapat dinamika positif di mana beberapa negara sudah menyelesaikan negosiasinya dengan AS seperti UK dan Qatar.
Sedangkan untuk geopolitik di Timur Tengah yang masih terus berkembang, Aida mengatakan bahwa pihaknya mencermati dampaknya terhadap potensi gangguan pasokan yang dapat mempengaruhi harga komoditas.
Ia menjelaskan bahwa dampak ketidakpastian perekonomian global dapat dilihat melalui tiga jalur, salah satunya jalur pasar keuangan yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah.
Selain itu, dampak lain dapat dilihat melalui jalur perdagangan yang masih akan terus dicermati oleh BI serta jalur prospek pertumbuhan ekonomi global. Sejauh ini, proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari BI tidak berubah, yakni tetap sebesar 3 persen pada 2025.
“Tidak ada yang berubah untuk pertumbuhan dari negara-negara lain, kecuali India (yang diprakirakan tumbuh baik). Tetapi India ini akibat daripada peningkatan investasi dalam negerinya. Dan dengan itu semua, tentunya dari sisi baseline pertumbuhan ekonomi Indonesia, kami tetap melihat angkanya 4,6-5,4 persen (untuk tahun ini),” tutup Aida.